Yuk Ngaji

Leave a Comment


Semenjak anak masuk Sekolah Dasar Islam Terpadu tidak pernah memaksakan untuk mengikuti pengajian sore di lingkungan rumah. Mencoba menawarkan pernah, akan tetapi jawabannya mau ngaji di rumah aja bareng mamah.


Bukan tidak berkeras diri memberikan bekal ilmu agama. Namun ada sedikit rasa tanya yang menyelinap, apakah anak akan sanggup menanggung beban informasi yang begitu beruntun.


Awal memutuskan resign dari aktivitas publik. Menemukan kebiasaan yang di luar dugaan. Ya, setiap pulang sekolah anakku selalu melaporkan nilai yang dia dapatkan di sekolah. Mulanya senang-senang saja karena memang prestasi akademiknya bagus. Namun lama-kelamaan menjadi hal yang aneh di pikiran.


Tidak penah menduga dna menyalahkan orang lain, namun menelusuri kebelakang ternyata memang kebiasan sebelum kami berkumpul pertanyaan pertama yang diajukan adalah dapat nilai berapa di sekolah. Mungkin hal tersebut menjadi kebiasaan anak-anak ketika bersama dengan kami.


Sedikit mendapatkan ilmu parenting bahwa baiknya ketika pulang sekolah tidak menanyakan apapun kecuali kebahagiaan ana-anak beraktivitas di sekolah. Jadi ketika anak pulang yang Ibu lakukan itu coba perhatikan kondisi anak, jika tampak biasa saja bisa menanyakan "bagaimana nak, senang nggak tadi di sekolah?". Pertanyaan seperti ini akan memunculkan berbagai respon, bisa anak senang kemudian menceritakan apa yang memuatnya senang atau sebaliknya sedih namun tetap menceritakan kesedihannya tersebut.


Yang dilakukan sebagai orang tua adalah menunjukkan sikap empati dengan mengaminkan rasa yang di ceritakan si anak. Misal ketika  bahagia "Wah, mama ikut senang kalau kakak senang" atau "Kalau kakak sedih mama jadi ikutan sedih, tapi jangan khawatir.... ".


Mencoba memperbaiki kebiasaan melaporkan nilai, maka saya yang akan mendahului bertanya. Alhamdulillaah lambat laun mulai berubah, tidak ada ketegangan ketika mendapatkan nilai yang di luar ekspektasi. Karena tidak pernah lagi ditanya mengenai nilai, terlihat lebih enjoy dengan aktivitas sekolah dengan jam belajar full day. 


Kini fase tersebut sudah di lewati. Saatnya mendampingi adiknya yang dengan takdir-Nya kami masukkan ke Sekolah Dasar Negeri.


Saat kakak sekolah sang adik lebih nyaman main dengan kakaknya. Ketika kakaknya sekolah, sang adik lebih memilih bermain di rumah saja. 


Kini kakaknya masuk SMP, adik masuk SD Negeri dengan jam pulang lebih cepat. Paling telat jam 11.00 WIB sudah nyampai rumah. Maka, waktu bermain dengan teman-teman yang sama-sama bersekolah di Negeri pun menjadi lebih leluasa. 


Butuh penyesuaian lumayan lama, setelah menawarkan untuk ikut ngaji di lingkungan rumah. Belum mau, masih mau di rumah sama kakak. Namun berjalannya waktu, seringnya main dengan teman-teman dan puncaknya saat diperbolehkan mengikuti lomba menggambar yang di adakan madrasah ketika memperingati hari kemerdekaan. Atas takdir Allah SWT besoknya meminta untuk ikut ngaji bareng teman-temannya. 


Mencoba mengikuti sunahnya, menawarkan diri untuk mengantar. Rupanya anaknya belum mau diantar. Merasa sedikit bersalah, namun mencoba memberikan ruang leluasa supaya anak nyaman terlebih dahulu. In syaa Allah untuk ijin dilakukan tanpa sepengetahuan anak.


Kini, sudah beberapa hari mengikuti pengajian. Menyiapakan iqro, buku dan alat tulis sendiri. Memilih tas bekas sekolah TK untuk membawa alat-alat tersebut. Bahkan memberikan tawaran untuk ditambah uang jajan menjadi 5 ribu sehari, dengan rincian 3 ribu bekal sekolah dan 2 ribu untuk bekal ngaji.


Bagi kami ketika bekal ada bukan masalah. Namun kebahagiaan tak terhingga ketika tidak dengan paksaan menyuruh anak untuk mengenal agama. Mungkin kami tak sekeras orang lain, namun kami mempunyai cara tersendiri supaya anak lebih memahami hakikat bukan malah merasa terpaksa dalam menjalankan kebaikan terutama untuk mengenal yang Maha Pencipta.


Semangat anakku, semoga senantiasa istiqomah dalam menjalankan kebaikan yang di ridhoi-Nya

 

0 komentar:

Posting Komentar